BERITABlogKOMISIPAROKI

HOMILI MGR. PAUL BUDI KLEDEN : PELIHARALAH KASIH PERSAUDARAAN

Perayaan Ekaristi misa Pontifikal yang terjadi pada Jumat, 23 Agustus 2024, Bapak Uskup Agung Ende : Mgr. Paulus Budi Kleden, berkhotbah mengenai “Peliharalah Kasih Persaudaraan”. Adapun isi khotbahnya sebagai berikut :

Bapak Ibu saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus, sebelum kembali ke Indonesia setelah 12 tahun bertugas di Roma, saya mengunjungi makam 2 pendahulu saya Mgr Petrus Noyen, SVD dan Mgr Henricus Leven, SVD di rumah induk SVD, Belanda. Setelah tiba di Indonesia sebelum  melanjutkan perjalanan ke Ende, saya mampir di Palasari Bali berziarah ke makam Mgr. Antonius Thijssen, SVD disana juga ada makam Mgr Paulus Sani SVD bapak besar saya, saudara sulung ayah saya. Saya sangat bersyukur bahwa saya diterima oleh Romo Administrator Diosesan Romo Daslan bersama para imam di rumah Keuskupan Ndona. Saya diantar terlebih dahulu bersama para tokoh umat dari ketiga Kevikepan dan ribuan umat untuk berdoa di depan makam Mgr. Donatus Djagom SVD, Mgr. Abdon Longinus da Cunha, dan Mgr. Vincentius Sensi Potokota di depan Kapela rumah keuskupan Ndona.

Setelah beberapa hari di Ende saya ke Katedral, mengunjungi makam Mgr. Arnoldus Verstraelen, SVD. Pada bulan Desember tahun lalu saya mengunjungi komunitas SVD di Amerika Serikat dan seperti biasa saya berziarah ke makam pertama Mgr Gabriel Manek SVD sebelum jenazahnya dipindahkan ke Lebao, Larantuka. Pada tahun 2017 dalam kunjungan ke komunitas SVD di Nagasaki Jepang saya diantar ke makam Mgr Paulus Yamaguchi yang diutus bersama Mgr Aloysius Ogihara, SJ; membantu Mgr Leven menjalankan misi di Flores selama perang dunia II. Kunjungan ke makam para pendahulu ini mengingatkan saya akan apa yang ditulis dalam surat kepada umat Ibrani sebagaimana kita dengar bacaan kedua tadi. “Ingatlah akan pemimpin-pemimpin kamu yang telah menyampaikan firman Allah kepadamu perhatikanlah akhir hidup mereka dan contohlah iman mereka”. Artinya tariklah pesan bagi dirimu saat engkau melihat hidup mereka, mengenang pelayanan dan merenungkan akhir hidup mereka. 

Saya yakin pesan utama dari mereka semua adalah peliharalah kasih persaudaraan. Mereka hidupi kasih persaudaraan dan mewarisi kepada kita. Mereka semua adalah orang-orang yang sungguh mengasihi kita memberikan dirinya dalam pelayanan kegembalaan karena kasih dan dengan itu memberi pesan yang menjadi contoh bagi kita untuk saling mengasihi sebagaimana kita dengar dalam bacaan Injil tadi. Mereka sungguh mengasihi kita karena mereka membiarkan diri dikasihi oleh Yesus sang Gembala Agung yang menyerahkan hidupnya untuk para saudara-saudari dan sahabatnya.

Kasih persaudaraan adalah warisan bukan hanya dari para pemimpin gereja. Itulah juga yang dihidupi dan diwariskan kepada kita oleh para leluhur dan orang tua kita di kampung-kampung, para petani dan nelayan sederhana yang dalam keterbatasannya tanpa mengeluh, bekerja keras menghidupi keluarga dan memenuhi kewajibannya sebagai warga masyarakat. Kasih persaudaraan kita tunjukkan dalam relasi lintas agama karena kesadaran bahwa kita berasal dari Tuhan yang sama. Kasih persaudaraan bukan sekedar sentimen  atau rasa suka perasaan dekat karena kepentingan tertentu. Kasih persaudaraan adalah ikatan tanggung jawab demi kebaikan mereka yang dikasihi.

Kasih persaudaraan berarti membela ketika orang ditindas dan diperlakukan tidak adil, mencegahnya menjadi korban kekerasan atau perdagangan manusia bagi mereka yang menderita karena berbagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan dan kekayaan. Dijiwai oleh kasih seperti itu seharusnya tidak tega meninggalkan orang ketika dia sedang menghadapi kesulitan dan tidak sudi  menggunakan kelemahannya untuk keuntungan diri sendiri karena oleh kasih persaudaraan kita bersedia dan berani menyampaikan apa yang dipesankan Tuhan kepada umatnya, berani menyuarakan kata-kata kebenaran, melawan propaganda murahan, dan penyebaran berita bohong. Kita bernyali menyuarakan keadilan menentang praktik korupsi yang mengorbankan orang-orang miskin.

Kasih persaudaraan yang merupakan warisan selalu dibutuhkan dan menjadi sebuah kemendesakan dalam dunia kita sekarang ini. Dunia memerlukan dari agama-agama suara yang senantiasa mengingatkan akan pentingnya tali persaudaraan yang menghubungkan kita. Butuh contoh konkrit bagaimana perbedaan tidak dilihat sebagai perintah melainkan kekayaan yang membawa kita kepada pemahaman dan pengalaman yang lebih luas tentang Tuhan. Warisan ini memang mendapat aktualitas baru dan mendesak ketika negara-negara dan agama-agama secara kasat mata menghadapi godaan isolasi diri. Ancaman yang melumpuhkan bagi gereja adalah ketika dia kehilangan perspektif misioner. Sebagai warga gereja kita tidak lagi rela keluar dari kepentingan diri, dari kesibukan mengurus diri sendiri atau terus membiarkan diri menjadi tawanan ketersinggungan atau rasa sakit hati yang berkepanjangan. Menghidupi dan mewartakan kasih persaudaraan adalah perutusan kita. Inilah perintah Tuhan kepada kita, supaya kita saling mengasihi sebagaimana dia mengasihi kita. Karena kasih persaudaraan adalah warisan serentak perutusan yang Yesus berikan kepada kita. Maka marilah kita baruhi tekad ini untuk menghidupi kasih persaudaraan.

Warisan ini mesti kita pelihara, nilai ini perlu kita kumandangkan. Terang bacaan-bacaan hari ini, saya hendak menggarisbawahi tiga hal yang menjadi kunci untuk meneguhkan komitmen pemeliharaan kasih persaudaraan. Pertama mendalami spiritualitas yang inkarnatif menyadarkan kita akan hakikat kita sebagai anak-anak Tuhan serentak  saudara atau sesama yang lain dan bagi Allah. Relasi mendalam dengan Tuhan tidak membuat kita lupa sejarah dan putus hubungan dengan dunia. Sebaliknya spiritualitas inkarnatif ini membawa kita ke bumi, merangkul kemanusiaan yang terluka karena berbagai sebab dan berpartisipasi dalam proses penyembuhannya. Sebelum segalanya kasih Tuhan yang merangkul, mengampuni dan menyembuhkan. Yesus dalam Injil tadi mengatakan tinggallah dalam  kasih, tinggal dalam Tuhan, merasa betah dalam kehadiran Tuhan tidak hidup dalam bayangan mesti menyembunyikan sesuatu dari Allah. Hanya apabila kita merasa aman dengan Tuhan kita sungguh dapat merasa aman dengan diri sendiri dan tidak diliputi ketakutan terhadap orang lain.

Hanya apabila kita tinggal dalam kasih Tuhan dan biarkan dia tinggal bersama kita, kita dapat saling menerima sebagai saudara. Kedua penguatan identitas diri melalui pendidikan yang tanpa akhir. Mengasihi berarti memberi ruang dan menciptakan kondisi bagi yang dikasihi untuk berkembang menjadi pribadi yang mandiri. Penggalan kitab Nabi Yeremia yang kita dengar dalam bacaan pertama tadi mengingatkan bahwa sejak dalam kandungan Tuhan sudah perhatikan kita. Sebagai orangtua, umat beriman dan warga masyarakat, kita pun mesti  menunjukkan kasih sejak seorang bayi dikandung dalam rahim ibunya dan terus mendampinginya dalam proses pendidikan yang berkualitas agar menjadi dewasa. Melalui pendidikan yang berkualitas kita membentuk pribadi-pribadi yang memiliki identitas dan usaha menghidupi secara konsisten. Kita butuh pendidikan dan pembinaan terus-menerus agar kita secara konsekuen dapat menghidup identitas kita. Ya identitas. Identitas sebagai suami-istri ditunjukkan dalam kesetiaan memelihara kekudusan perkawinan.

Kesetiaan sebagai imam dan biarawan biarawati kita hidup dalam tekad menghidupi identitas. Pertama-tama sebagai hamba Tuhan, dan saudara bagi yang lain bukan hamba kekuasaan dan pengumpul harta dan kekayaan. Penulis surat Ibrani menegaskan agar kita tidak boleh menjadi budak uang dan hawa nafsu. Ketiga membaharui solidaritas. Kasih persaudaraan adalah solidaritas. Berbela rasa dengan orang yang lain, mendukung, dan memperhatikan orang lain terkhususnya yang sedang menghadapi kesulitan dan penderitaan. Tembok egoisme yang membuat orang bersikap dingin dihadapan penderitaan orang lain ialah kasih oleh solidaritas. Solidaritas dengan mereka yang tidak berumah, ketiadaan tumpangan dan kehilangan pegangan dalam hidup. Solidaritas tidak mengucilkan dan membuang orang-orang terhukum tetapi tetap menghormati martabat mereka sebagai anak-anak Tuhan dan saudara-saudari dalam ziarah yang sama. Ia yang menjadi nyata dalam kesediaan untuk saling menegur dan mengingatkan sebelum terlambat.

Kita sadar, solidaritas tidak mungkin dihidupi tanpa kerelaan berkorban. Injil Yohanes berbicara mengenai kerelaan berkorban. Tiada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya, bagi saudara-saudarinya. Berkorban berarti rela melepaskan yang saya punya atau yang amat saya sukai demi kebaikan bersama demi keluarga, demi keuskupan dan demi gereja. Tanpa kerelaan berkorban kita tidak mampu memelihara kasih persaudaraan. Solidaritas adalah kekuatan kita orang-orang kecil ini untuk meningkatkan kemampuan ekonomi dan memperkokoh nilai budaya kita. Solidaritas memperteguh soliditas kita menghadapi dahsyatnya gelombang ekonomi neoliberal dan arus deras penyeragaman dalam globalisasi. 

Saudara-saudariku yang terkasih, pendalaman spiritualitas, penguatan identitas diri dan pembaruan solidaritas lintas merupakan bentuk konkrit usaha kita untuk memelihara kasih persaudaraan. Kiranya Tuhan memberkati dan Bunda Maria yang dikandung tanpa noda pelindung keuskupan kita mendoakan kita. Amin. (Penulis Priska Sare Ora)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *